Minggu, 21 November 2021

Aku ingat ketika di ranu kumbolo, ada sebuah rumah kayu. (catatan tahun 2007)

 

Aku ingat ketika di ranu kumbolo, ada sebuah rumah kayu. Di bukit sekitar ranu kumbolo. Aku, alit dan eros ngobrol dengan seorang pendeta hindu. Sudah cukup tua umurnya. Pakaiannya serba putih, rambutnya panjang sampai kaki, ia sempat membuka semacam surban penutup kepalanya yang berwarna putih. Kami ngobrol bermacam-macam hal, tepatnya beliau yang memberi  kami berbagai macam petuah. Banyak nasehat dalam hidup beliau sampaikan. Selain itu aktivitas eyang ini, kusebut eyang saja ya, berada di pulau bali. Ia menjadi pendeta dalam setiap acara keagamaan yang diselenggarakan di bali. Ia mempercayai  keyakinan hindu  sebagai jalan hidupnya. Yang kufikir adalah nilai nilai kebaikan juga dalam hidup. Sementara ia juga menghormati keyakinanku sebagai seorang muslim. Ia tidak menjelekkan atau bahkan mencela islam, ia mengakui islam juga mengajarkan kebaikan. Ia menghormati keyakinanku.

 Rumah kayu itu terletak pas bila kita sebelum naik di tanjakan cinta. Rumah kayu itu berada. Tidak ada sekat ruangan. Hanya ada alas dari semen setinggi kurang lebih ¾ meter. Ditengah ruang kami membuat api unggun, tepatnyasih si bapak tadi bersama pelayannya yang membuat api unggun.hangat terasa ruangan itu.  Kukatakan  ‘pelayan’, karena memang ketika pa pendeta tadi ingin makan, seorang bapak, yang kutemui tadi ketika memancing diranu kumbolo, yang aku meminjam pancingannya, dan aku mendapat seekor ikan disana, memberinya sepiring nasi. Bapak pelayan ini bersama anaknya, namanya Buwane katanya. Buwane pemalu, ia diam saja ketika kami ngobrol dirumah kayu bersama pa pendeta.

Sesekali anjing pa pendeta masuk kerumah kayu itu. Anjing itu kelihatannya nurut sama pa pendeta.

Selain  kami –aku, alit,eros, buwane dan ayahnya, pa pendeta, diruangan itu juga ada seorang wanita sedang makan ikan, ia tidak ikut mendaki ke puncak semeru, ia sudah lelah katanya. Ia menunggu saja teman-teman satu timnya yang sedang menuju Mahameru. Ia menawari ikannya kepadaku, ku terima saja ikan itu, katanya ikan itu ia dapat dari ranu kumbolo. Ia dari Surabaya, kalo tidak salah. Aku tidak banyak bertanya kepadanya. Enak juga ikan itu, ia mancing juga sepertinya diranu kumbolo itu.

Agah teman satu timku mengatakan kepadaku, ‘kalo bisa dapet ikan diranu kumbolo, ngga bakal susah hidup, tinggal mancing ikan aja disini’, kata agah kepadaku. Agah dari bogor katanya. Aku seneng sekali bisa mancing di ranu kumbolo itu. Danau (ranu) kumbolo yang kubaca di lilteratur memiliki luas kurang lebih 14 hektar, danau ini terletak diketinggian kurang lebih 2500an meter diatas permukaan laut.  Airnya jernih, bersih, para pendaki biasa memanfaatkan air diranu kumbolo ini untuk berbagai keperluan. Memasak.minum.mandi,dsb. Mari kita jaga kebersihan ranu kumbolo. Buang bungkus sampo jangan di ranunya ya. 

Ketika aku dapat ikan tadi, di ranu kumbolo,  kuberikan saja pada ayahnya Buwane. Buat bapak saja kataku. Aku kan tidak bawa alat masak apa-apa. Kalaupun makan aku dikasih sama teman satu teamku; sony,fajar,bayu,alit,eros,kena,yanti,oyo,agah, mereka baik.  Ikan itu dimasukan kedalam tempat ikan yang ayahnya Buwane bawa.  Eh aku malah dapet makan ikan dari seorang pendaki dirumah kayu itu. Kata nya ikan itu dari ranu kumbolo. Aku saja makan ikan itu, alit dan eros tidak mau makan ikan yang ditawari pendaki wanita itu.

Pa pendeta itu cukup besar juga perawakannya. Bila aku berdiri disampingnya sepertinya ia lebih tinggi dariku. Aku 174cm. aku lupa bila harus menulis ulang apa yang sudah beliau sampaikan kepada kami, aku,alit dan eros. Pokoknya ia menyampaikan yang  baik-baik aja dalam hidup, nasehat-nasehat yang baik, berguna. Sesekali kuajak Buwane bicara, tapi ia diam saja. Kata pa pendeta Buwane harus banyak belajar bicara, biar tidak malu nanti disekolah.entah ia mau sekolah ngga ya. Mungkin ia sekarang sudah masuk sekolah.  Aku sering lupa apa saja yang disampaikan orang kepadaku saking banyaknya obrolan, nasehat yang aku terima. Jadi kukatakan saja yang ‘baik-baik aja pokoknyalah dalam hidup’, untuk merangkum semua nasehat, obrolan kami bersamanya.  Seperti ketika aku ditanya teman di masjid alhurriyyah; ‘ibu nasehatin apa aja ted?’.  Lupa. Aku lupa.saking banyaknya apa yang ibuku nasehatin aku ditelepon tadi. Rupanya temen di masjid alhurriyyah ini melihatku sedang teleponan sama ibuku.

Ketika di rumah kayu itu juga, yang kuingat, ayahnya Buwane tak banyak bicara, malah mungkin tak bicara sama sekali. Aku saja yang banyak bicara dengan pa pendeta, eros dan alit.