Jumat, 15 Agustus 2025

In Memoriam Almarhum Ustad Drs H.E. Syamsudin


 


Catatan, 27 Oktober 2018

Ustadz Syam… Pak Syam.

Pagi itu, saya menyempatkan diri berkunjung ke rumah beliau di kampus IPB Darmaga. Alhamdulillah, saya bisa kembali bersua. Pak Syam—begitu kami biasa memanggilnya—adalah sosok “bapak” bagi para marboth Masjid Al-Hurriyyah. Rasanya selalu ada kebahagiaan setiap kali bertemu beliau. Wajahnya teduh, tutur katanya ringan, dan senyumnya penuh kehangatan.

Sudah dua tahun beliau pensiun dari dosen IPB. Saya datang dengan membawa oleh-oleh seadanya—ah, tak seberapa memang—namun beliau menerimanya dengan gembira. Katanya, beliau memang menyukai risol. Ada rasa haru yang sulit saya ungkapkan: betapa beliau bukan hanya guru, melainkan penuntun jiwa kami. Selalu ada canda, tapi tidak pernah berlebihan; selalu ada nasihat, namun dibungkus dengan kehangatan khas orang Sunda.

Saya teringat masa-masa ketika saya, dan juga para marboth lainnya, kerap merepotkan beliau dengan segudang persoalan. Entah tentang mahasiswa, kegiatan masjid, atau sekadar keluh kesah pribadi. Namun Ustadz Syam selalu menerima dengan lapang dada. Duduk bersama beliau serasa duduk di pangkuan seorang ayah: nyaman, aman, penuh ketulusan.

Beliau membimbing kami dalam kajian pekanan, liqo’, hingga beragam acara di Masjid Al-Hurriyyah. Kehadirannya menjadi cahaya yang menuntun langkah kami. Sejak wafatnya Ustadz Umung Anwar Sanusi di Banjar, saya merasa kehilangan seorang guru. Namun dalam sosok Ustadz Syam, saya kembali menemukannya.

Semoga Allah senantiasa menjaga dan memberkahi beliau…

Aamiin.


Catatan, 13 Agustus 2025

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Allaahummaghfirlahu, warhamhu, wa ‘afihi, wa’fu ‘anhu…

Pagi ini, selepas Subuh di Masjid Al-Ukhuwah Puri Cempaka Serang, kabar duka itu datang menghantam. Saya baru saja membuka ponsel dan membaca bahwa Ustadz Syam wafat pada Selasa malam, pukul 22.15 WIB, 12 Agustus 2025. Betapa lambat saya mengetahuinya. Hati saya terasa kosong, seakan sebagian cahaya dalam hidup padam bersama kepergian beliau.

Ustadz Syam bukan sekadar guru; beliau adalah bapak bagi kami, para marboth Masjid Al-Hurriyyah IPB. Ingatan saya segera melayang pada kajian tafsir yang beliau isi di aula masjid, saat saya masih menjadi penghuni asrama marboth. Beliau membimbing dengan penuh kesabaran, menuntun kami untuk memahami ayat-ayat Allah dengan hati yang jernih.

Senyum beliau khas: tulus, hangat, dan selalu disertai gurauan ringan yang penuh makna. Saya masih ingat kisah beliau kehilangan hafalan surat Al-Fatihah karena kepalanya terbentur pintu angkot. Namun, dengan izin Allah, hafalan itu pulih kembali. Dari cerita yang sederhana, beliau selalu berhasil menyelipkan hikmah.

Pertemuan terakhir kami terjadi di penghujung tahun 2024. Saat itu saya sedang berkunjung ke rumah mertua di Ciherang, tak jauh dari kediaman beliau di kompleks Masjid Al-Hurriyyah. Waktu itu, seperti biasa, beliau menyapa dengan hangat dan menanyakan kabar keluarga. Bahkan anak-anakku, Hassan dan Ridho, tak luput dari perhatian beliau. Maryam, yang lahir kemudian, pun sempat beliau jumpai.

Ada begitu banyak kenangan bersama beliau—kisah tentang mobil pertamanya yang diberikan oleh seorang murid, tentang nasihat-nasihatnya, bahkan tentang canda kecil yang tak lekang dari ingatan. Suatu kali, saya pernah bertanya:

“Ustadz, dalam Al-Qur’an disebutkan Allah memberi kebaikan yang banyak kepada orang yang bijak. Bagaimana sebenarnya orang bijak itu menurut Allah?”

Beliau menjawab panjang lebar, namun intinya sederhana: orang bijak adalah mereka yang menyesuaikan segala sesuatunya dengan Al-Qur’an. Jawaban itu, sampai kini, masih terpatri di hati saya.


Jejak dalam Kenangan Murid-Muridnya

Rekan-rekan marboth pun banyak menyimpan kenangan serupa.

  • Nur Fauzan masih mengingat pesan beliau saat lulus tahun 2007: “Dimanapun berada, jangan tinggalkan dakwah tarbiyah.”

  • Sobri mengenang saat-saat sederhana duduk di tangga, berbincang santai sambil memijat beliau.

  • Ady Suhendra berkata singkat, “Kebaikan-kebaikan beliau tak terkatakan.”

  • Purwanto menuturkan, “Pasukan marboth paling cepat bergerak kalau sudah dipanggil ke rumah beliau.”

  • Jumadi masih tersenyum mengingat momen makan bersama kiriman kepala sapi, dengan almarhum bercanda ringan di pelataran masjid.

  • Dadan menegaskan, “Kita semua bersaksi bahwa beliau orang baik. Semoga Allah masukkan beliau ke dalam golongan orang-orang yang dirindukan surga-Nya.”

Begitulah, setiap murid menyimpan serpihan cahaya dari sosok Ustadz Syam.


Sebuah Perpisahan

Bagi kami, Ustadz Syam bukan hanya seorang ustadz, tetapi ayah, penuntun, sahabat, dan teladan. Banyak hal yang kami pelajari dari beliau: dari hal besar seperti tafsir Al-Qur’an hingga cerita sederhana penuh gurau.

Kini beliau telah berpulang, kembali ke sisi Allah. Kami merasa kehilangan, namun kami yakin beliau telah memperoleh tempat mulia di sisi-Nya.

Selamat jalan, Ustadz Syam. Semoga Allah menempatkanmu di surga yang luas, di antara para syuhada dan shalihin. Semoga engkau tersenyum dalam balutan rahmat Allah, sebagaimana engkau selalu tersenyum kepada kami semasa hidup.

Fataqabbal minna… Rabbighfir lanaa…




 www.tedigumelaran.blogspot.com

 

Jumat, 01 Agustus 2025

RINDU RUMAH


Sudah hampir seminggu aku tak pulang. Rindu itu mengendap di dada, menggumpal tiap kali pandanganku jatuh pada kunci rumah yang kusimpan di saku jaket. Kunci kecil itu, sepotong logam yang mengantarku pada dunia yang paling nyaman: rumah.

Rumah kecil, tapi lapang di hati. Di dalamnya ada tawa istri, ada riang anak, ada kehangatan yang tak tertandingi oleh tempat mana pun di dunia ini. Pernah dulu aku bermimpi menjelajah, menjejakkan kaki di tanah-tanah asing, menghirup udara dari negeri yang jauh. Aku ingin mendaki gunung-gunung tinggi, melihat matahari terbit dari puncaknya. Aku ingin melangkah di lorong-lorong bersejarah, menapaki jejak para leluhur. Aku ingin menyeberangi laut, bertemu orang-orang dari negeri seberang.

Tapi baru sampai Bandung saja, hatiku sudah berat. Kunci rumah ini seakan berbisik, memanggil-manggilku pulang.

Ah, rumah. Ada kebahagiaan yang tak bisa kutemukan di luar sana. Di luar rumah, aku bertemu kesusahan. Di warung, di jalanan, di tengah hiruk-pikuk dunia. Lalu, saat aku kembali, aku membawa secuil kisah dari luar, membagikannya kepada istri dan anak. Dan sebaliknya, segala lelah dan duka yang melekat di tubuhku, kularutkan dalam kehangatan rumah. Seolah-olah rumah adalah tempat penyucian, tempat segala beban luruh menjadi kelegaan.

Rumahku sederhana, didominasi warna putih. Dinding-dindingnya putih, pintu-pintunya putih, jendelanya pun putih. Aku ingin hati ini pun seputih itu, sebersih itu. Tapi noda tetap saja ada, bercak-bercak samar yang sulit dihapus. Namun bukankah putih masih tetap dominan? Maka biarlah, kelak akan kuperbarui lagi, akan kupoles lagi, hingga rumah ini tetap bercahaya, seperti hatiku yang selalu ingin kembali kepada kebaikan.

Saat ini, aku hanya bisa menitipkan rumah itu kepada Tuhan. Menitipkan kehangatannya, kebahagiaan di dalamnya, serta orang-orang yang kucintai. Sementara aku jauh, sementara kunci ini masih erat dalam genggamanku. Semoga tak jatuh, semoga tak hilang. Sebab kehilangan kunci berarti kehilangan jalan menuju rumah. Kehilangan cara untuk kembali ke tempat di mana aku merasa paling utuh.

Aku ingin pulang. Ingin kembali merasakan damainya duduk di ruang tamu, mendengar canda istri dan tawa anak, merasakan bahwa di sinilah segala pencarian berakhir. Bahwa sejauh apa pun kaki melangkah, rumah selalu menjadi tempat yang paling ingin kudatangi lagi.

Mungkin ini hikmahnya. Mungkin aku tak perlu bermimpi terlalu jauh. Dunia ini luas, tapi rumah pun sudah seluas dunia. Segala keindahan sudah ada di dalamnya. Kesusahan telah dibuang ke luar, yang tersisa hanyalah kasih sayang dan kegembiraan.

Ya Tuhan, izinkan aku segera pulang.
Karena rumah adalah tempat yang paling ingin kutuju, selalu.