Sudah hampir seminggu aku tak pulang. Rindu itu mengendap di dada, menggumpal tiap kali pandanganku jatuh pada kunci rumah yang kusimpan di saku jaket. Kunci kecil itu, sepotong logam yang mengantarku pada dunia yang paling nyaman: rumah.
Rumah kecil, tapi lapang di hati. Di dalamnya ada tawa istri, ada riang anak, ada kehangatan yang tak tertandingi oleh tempat mana pun di dunia ini. Pernah dulu aku bermimpi menjelajah, menjejakkan kaki di tanah-tanah asing, menghirup udara dari negeri yang jauh. Aku ingin mendaki gunung-gunung tinggi, melihat matahari terbit dari puncaknya. Aku ingin melangkah di lorong-lorong bersejarah, menapaki jejak para leluhur. Aku ingin menyeberangi laut, bertemu orang-orang dari negeri seberang.
Tapi baru sampai Bandung saja, hatiku sudah berat. Kunci rumah ini seakan berbisik, memanggil-manggilku pulang.
Ah, rumah. Ada kebahagiaan yang tak bisa kutemukan di luar sana. Di luar rumah, aku bertemu kesusahan. Di warung, di jalanan, di tengah hiruk-pikuk dunia. Lalu, saat aku kembali, aku membawa secuil kisah dari luar, membagikannya kepada istri dan anak. Dan sebaliknya, segala lelah dan duka yang melekat di tubuhku, kularutkan dalam kehangatan rumah. Seolah-olah rumah adalah tempat penyucian, tempat segala beban luruh menjadi kelegaan.
Rumahku sederhana, didominasi warna putih. Dinding-dindingnya putih, pintu-pintunya putih, jendelanya pun putih. Aku ingin hati ini pun seputih itu, sebersih itu. Tapi noda tetap saja ada, bercak-bercak samar yang sulit dihapus. Namun bukankah putih masih tetap dominan? Maka biarlah, kelak akan kuperbarui lagi, akan kupoles lagi, hingga rumah ini tetap bercahaya, seperti hatiku yang selalu ingin kembali kepada kebaikan.
Saat ini, aku hanya bisa menitipkan rumah itu kepada Tuhan. Menitipkan kehangatannya, kebahagiaan di dalamnya, serta orang-orang yang kucintai. Sementara aku jauh, sementara kunci ini masih erat dalam genggamanku. Semoga tak jatuh, semoga tak hilang. Sebab kehilangan kunci berarti kehilangan jalan menuju rumah. Kehilangan cara untuk kembali ke tempat di mana aku merasa paling utuh.
Aku ingin pulang. Ingin kembali merasakan damainya duduk di ruang tamu, mendengar canda istri dan tawa anak, merasakan bahwa di sinilah segala pencarian berakhir. Bahwa sejauh apa pun kaki melangkah, rumah selalu menjadi tempat yang paling ingin kudatangi lagi.
Mungkin ini hikmahnya. Mungkin aku tak perlu bermimpi terlalu jauh. Dunia ini luas, tapi rumah pun sudah seluas dunia. Segala keindahan sudah ada di dalamnya. Kesusahan telah dibuang ke luar, yang tersisa hanyalah kasih sayang dan kegembiraan.
Ya Tuhan, izinkan aku segera pulang.
Karena rumah adalah tempat yang paling ingin kutuju, selalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar